Merindukan Al ‘Umari
Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Umar bin Khattab. Dari
namanya, jelas ia masih memiliki jalur keturunan seorang sahabat yang dijamin
masuk surga. Dia cicit dari Umar bin Khattab rad an karenanya ia juga biasa
dipanggil dengan julukan Al ‘Umari. Nama itu bukan saja karena nasab dari Umar
bin Khattab, tetapi juga menyangkut dengan
karakter dan sifat – sifat khas dari keturunan Umar bin Khattab yang
tegas dalam menyatakan yang haq. Al Umari, sedikit dalam meriwayatkan hadits
tapi justru sibuk dengan memperbanyak ibadah dan menyampaikan al haq dengan
tegas. Barangkali tidak banyak orang tahu tentang sosok orang shalih ini. Tapi
ketegasannya dalam berucap, komitmennya dalam bersikap, kezuhudannya terhadap
harta dunia, ibadahnya yang menjadikannya terkenal sebagai ahli ibadah, patut
kita ketahui sebagai pelajaran berharga dalam menjalani hidup di zaman ini.
Saudaraku, tahukah anda Al Umari adalah salah satu ulama’ yang berbeda
pendapat dengan sejumlah ulama di zamannya semisal Imam Malik bin Anas. Al
Umari mengkritisi para ulama yang dianggap telah mendekat pada kekuasaan dengan
perkataannya, “Kalian mulai condong pada dunia.” Ungkapannya itu menandakan
sifat sensitifnya dengan sesuatu yang tidak banyak dirasakan orang terhadap
dunia. Ia sangat disegani dan dihormati. Adz Dzahabi pernah meriwaytakan dari
Mush’ab bin Zubairi, “Tak pernah aku dapati orang yang sangat disegani dari
padanya. Ia pernah datang ke Kuffah dan berencana mengingatkan Khalifa Harun Ar
Rasyid kepada Allah SWT. Tapi istana kekhalifahan gemetar dengan berita akan
dengan kedatangannya. Ia lalu di kembalikan dari Kufah dan tidak jadi bertemu
dengan khalifah Harun Al Rasyid.”
Menurutnya, sebab-sebab seseorang lalai dari apa yang harus dilakukan
untuk membersihkan jiwa serta dapat membawanya pada keselamatan, adalah karena
orang tersebut keluar dari panduan dan tuntunan Allah SWT, karena dia
menyepelekan penerapan tuntunan yang telah Allah SWT sediakan. Imam Adz Dzahabi
meriwayatkan perkataan Al Umari tentang hal ini yaitu, “Sungguh termasuk yang
melalaikanmu dari jiwamu adalah karena engkau menolak Allah SWT dengan menoleh
pada sesuatu yang membuat-Nya marah lalu engkau melakukannya. Engkau tidak
memerintah kepada yang baik dan tidak melarang kemungkaran, karena takluk
kepada makhluk. Padahal makhluk sama sekali tidak mempunyai kuasa untuk memberi
bahaya dan manfaat atasmu. Barangsiapa yang meninggalkan amar ma’ruf dan nahyul
mungkar karena takut kepada makhluk, akan dicabut kewibawaan dirinya. Hingga
ketika ia memerintahkan anaknya, anaknya itu akan menganggap enteng
perintahnya.”
Saudaraku, perhatikanlah kata demi kata yang begitu kritis dan tajam
dari Al Umari itu. Kewibawaan, harga diri, kehormatan hilang bersamaan dengan
semakin jauhnya seorang dari Allah, semakin tidak mengajak kepada kebaikan dan
semakin tidak melarang kemungkaran. Meski seorang yang sangat zuhud terhadap
dunia, Abdullah bin Abdul Aziz sangat menolak pemberian orang lain, dan hidup
dari usahanya sendiri. Apalagi bila pemberian itu datangnya dari orang yang
berkuasa atau mempunyai kedudukan. Pernah pada suatu hari, Harun Ar Rasyid
ingin menguji sikapnya itu. Seorang utusan khalifah datang kepadanya dengan
membawa surat yang berisi terima kasih atas nasihat yang telah disampaikannya
terhadap dua anak Amirul Mukminin yaitu Al Amin dan Al Makmun. Surat itu
diberikan sekaligus sejumlah uang sebesar seribu dinar. Tapi kedua pemberian
itu, surat dan uang ditolaknya. Meski ia sebagai orang yang zuhud tetapi Al
Umari bukanlah orang yang menyendiri atau mengisolir diri dari masyarakatnya.
Ia justru hadir dan berbaur dengan masyarakatnya sambil aktif menyampaikan
nasihat – nasihatnya yang mengingatkan betapa kemegahan, kemewahan, keindahan
dunia itu kelak akan hilang dan pemilikinya.
Saudaraku, sikap kritis dan tegasnya terhadap kekeliruan juga
diterapkan kepada dirinya sendiri. Itu sebabnya Al Umari juga di riwayatkan
kerap mengkritik dirinya sendiri sehingga ia menjadi orang yang dikenal wara’
atau sangat memelihara diri dari kemungkinan dosa. Salah satu ungkapannya yang
sangat tegas memandang kesalahan ini diceritakan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah.
Ketika seseorang datang kepada Al Umari dan mengatakan, “Nasihatilah saya.” Al
Umari mengatakan, “Seperti harapanmu bila kau ingin bersama Allah SWT kelak,
jadikanlah Allah SWT bersama hari ini.”
Nasihat – nasihat Al Umari begitu jelas dan merasuk langsung kedalam
hati orang yang mendengarnya. Itu tanda keikhlasannya dalam memberi nasihat. Ia
pernah melihat khalifah Harun Ar Rasyid berdiri di bukit Shafa, lalu ia segera
mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau bisa melihat berapa banyak
orang yang berada di sekitar Ka’bah?” Ar Rasyid mengatakan, “Banyak.” Abdullah
kembali mengatakan, “Mereka semuanya memohon keselamatan dirinya pada hari
kiamat. Hendaknya engkau memohon untuk keselamatan mereka semua di hari
kiamat.” Mendengar itu Ar Rasyid menitikkan air mata dan menangis, cukup lama.
Kemudian Abdullah mengatakan, “Wahai Harun satu orang yang berlebih lebihan
terhadap hartanya sendiri, bisa mendapat hukuman penjara. Bagaimana dengan
orang – orang yang berlebih-lebihan dengan harta kaum muslimin?”
Saudaraku, Harun Ar Rasyid sebagai Amirul Mukminin kala itu, sangat
menghormati dan segan terhadap Al Umari, sampai pernah dikatakan Ar Rasyid, “
Demi Allah,s saya tidak tahu ada masalah
apa dengan Al Umari. Saya tidak suka datang meminta nasihat kepadana, tetapi
saya sangat suka datang meminta pendapatnya.”
Saudaraku, apakah kita merindukan sosok Al Umari hadir di zaman ini?
Maraji; M Lili Nur Aulia, kolom Ruhaniyat Majalah Tarbawi